Senin, 27 Juni 2011

Operasi Yustisi: Solusi Tragis Pasca Urbanisasi di Jakarta


Operasi Yustisi: Solusi Tragis Pasca Urbanisasi di Jakarta
Oleh : Rico Juni Artanto
Mahasiswa Institut Pertanian Bogor
Panorama Jakarta menjadi sasaran empuk bagi penduduk daerah. Wisatawan mancanegara pun kerap lengket dengan hiruk pikuk ibu kota. Pecinta bisnis dari berbagai kalangan mulai “gelar” tikar pasca kabar memarak bahwa Jakarta akan menjanjikan hidup semakin lebih layak. Utamanya menjelang lebaran, pasukan daerah mulai menyisiri ibu kota. Seperti yang dilansir oleh Suara Pembaharuan 2010 bahwa sekitar 2,35 juta orang menyerbu Jakarta selama arus balik Lebaran 2010. Dari jumlah itu, sekitar 55.700 orang di antaranya merupakan pendatang baru musiman.
Data Posko Angkutan Lebaran Dishub DKI Jakarta juga menyebutkan, jumlah warga Ibukota yang mudik pada Lebaran 2010 mencapai 2,3 juta orang. Sedangkan, jumlah arus balik mencapai 2.355.700 orang. Sehingga, terdapat tambahan pendatang sekitar 55.700 orang. Fenomena ini yang melatarbelakangi munculnya kebijakan sepihak.
Operasi Yustisi merupakan sarana aturan tertib administrasi bagi pendatang yang sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 tahun 2004 tentang Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil dan Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 32 tahun 2010 tentang Pelaksanaan OYK dan Penertiban Terpadu Dalam Rangka Penanggulangan Urbanisasi. Pada bulan Juni terjaring sebanyak 150 penduduk Jakarta Timur pasca Operasi Yustisi yang diadakan 9 Juni 2011 lalu. Selama ini sudah banyak yang menjadi korban Operasi Yustisi. Tak tanggung-tanggung, bagi para pendatang illegal berdasarkan  Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil serta Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 16 Tahun 2005 akan dijatuhi denda maksimal 5 juta dan sanksi pidana 3 bulan penjara. Memang ironis, ternyata ibu kota belum adil.
Berbagai protes warga menuai terhadap pelaksanaan Operasi Yustisi. Operasi ini belum mampu menjadi solusi bagi urbanisasi. Secara data memang mengalami penurunan di tahun 2006. Pada tahun 2006 hanya terjadi peningkatan 124.427 penduduk baru. Angka itu lebih kecil dibandingkan tahun 2005 yang mengalami pertambahan penduduk 180.767 jiwa. Namun jika dilihat dari aspek sosial ekonomi justru memiliki dampak yang lebih terhadap pendatang. Kebutuhan mereka untuk datang ke ibu kota tak luput untuk mencari nafkah untuk dapat bertahan hidup. Perekonomian dirasa kurang merata di daerah. Pusat ekonomi untuk saat ini terbatas di sentral kota atau ibu kota negara. Alasan logis ini yang mendorong motif mereka bergerak menuju pusat perekonomian negara. Memang berbeda dengan beberapa negara di dunia, pusat perekonomian dan bisnis tidak satu lokasi dengan ibu kota negara. Dengan ini seharusnya pemerintah tidak bertindak sepihak terhadap para pendatang ilegal. 
Pemerintah seharusnya melakukan tindakan edukasi kepada penduduk illegal ibu kota dengan mengadakan sosialisasi kependudukan terpadu secara masif. Sehingga penduduk akan lebih faham terhadap pentingnya identitas kependudukan pasca urbanisasi. Selain itu pemerintah sekarang juga harus mulai memikirkan serta bertindak terkait pemerataan ekonomi daerah. Terkesan daerah kurang menjanjikan bagi mereka. Namun di satu sisi kebutuhan mereka semakin besar. Pemerintah harus memikirkan keberadaan mereka. Jangan hanya main gusur pukul rata masuk penjara sementara tidak melihat dari sudut pandang psikologi mereka. Mental mereka akan jauh lebih tertekan saat itu. Jika mampu mereka justru baiknya dikembangkan dalam rangka pemberdayaan masyarakan urban dan peningkatan perekonomian ibu kota. Jadikan sosok ibu kota yang damai sejahtera bukan sosok yang menyeramkan karena hukum yang saklak ditegakkan, karena Jakarta milik kita semua.

-Semoga tulisan singkat ini mampu memberikan inspirasi pemerintah-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar