Sabtu, 14 Mei 2011

Bulog: Posisi Strategis, Harus Solutif

Bulog: Posisi Strategis, Harus Solutif
Tak dapat dipungkiri, beras menjadi salah satu komoditi strategis, ekonomis, bahkan politis. Revitalisasi kebijakan pengadaan gabah/beras sebagai awalan tahun 2008 silam justru seharusnya mampu menjawab tantangan ketahanan pangan tiap tahunnya. Namun sungguh ironis dengan maraknya impor besar-besaran. Pada posisi ini Bulog memiliki peran penting. Peran Bulog sampai saat ini belum sepenuhnya optimal. Parahnya impor beras agaknya sudah menjadi tradisi. Peran stabilisasi harga masih diragukan, termasuk operasi pasar yang lamban. Pengaturan stok beras belum menjamin berjalan dengan baik. Tetap saja, Bulog impor beras. Bulog kerap lepas target. Penyerapan target 3,2 juta ton di tahun 2010 praktis macet, hanya mampu menyerap 1,89 juta ton beras saja. Pasalnya Bulog beraninya tebang pilih soal serap menyerap beras. Bulog tak mau menyerap beras petani di bawah standar. Giliran produksi bagus dengan harga di atas Harga Pokok Pembelian (HPP), Bulog nyaris bisu. Inginnya tetap eksis impor beras. Keberpihakan Bulog kepada luar negeri justru menimbulkan maraknya eksistensi tengkulak terhadap petani.  Bulog menjadi sahabat petani rasanya miris karena jauh dari kenyataan.
Tahun 2011, Bulog menargetkan sebesar 3,5 juta ton beras. Angka ini lebih besar dibanding tahun sebelumnya yang mematok sebesar 3,2 juta ton beras. Semoga tak hanya iming-iming belaka, jadi perlu kerja keras dengan targetan yang meningkat. Bulog harus memberikan apresiasi lebih ke petani dengan mengupayakan fungsi kebijakan secara adil. Kebijakan komersial Bulog diharapkan mampu mengimbangi operasi pasar sekaligus memberikan solusi ke petani. Sehingga Bulog tak hanya nurut saja dengan standar baku tanpa harus menganalisis dampaknya terlebih dahulu. Terlebih pemerintah juga telah menyiapkan anggaran cadangan risiko fiskal sebesar 2 T di tahun 2011. Selain itu berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) produksi padi tahun 2011 sebesar 67,31 juta ton gabah kering giling naik 895,86 ribu ton (1,35 persen) daripada tahun 2010. Bisa diprediksikan produksi beras tahun ini mencapai 38,1 juta ton atau surplus 3 – 4 juta ton. Tak ada alasan lagi Bulog berkelit soal penyerapan beras tahun ini. Impor bukan menjadi solusi kebijakan, jika prediksi yang matang ini sudah menjadi acuan. Kondisi ini memungkinkan Bulog untuk memperkuat posisi. Bulog jangan jaga image. Jika diperlukan terjun ke masyarakat petani, segera dilakukan. Jangan hanya sibuk ngantor saja. Studi lapang ini dalam rangka pembangunan kembali mitra yang baik. Hal-hal yang menjadi penghambat segera diketahui sampai dasar dan langsung berupaya untuk segera mencari solusinya. Dengan cara ini Bulog akan mampu menjalankan mitra baiknya dengan petani.
Operasi pasar melalui kebijakan Raskin, diharapkan mampu memasok beras secepatnya dengan harga terjangkau oleh masyarakat miskin. Namun disadari atau tidak, Raskin sampai saat ini masih menimbulkan polemik. Betapa tidak, Raskin yang kini dijatah 15 kg per KK Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat (RTS-PM) justru banyak mengalami penyusutan, bahkan sampai susut 5 kg. Entah apa penyebabnya dan siapa dalangnya, seharusnya Bulog cepat bertindak mengambil kebijakan untuk kasus ini. Belum selesai soal kuantitas Raskin, kualitas beras juga banyak diperbincangkan. Bulog, dalam hal ini harus serius menyikapi. Bukan semata-mata karena untuk orang miskin lantas masyarakat harus dibodohi dengan kuantitas serta kualitas beras Raskin. Sungguh ironis jika Bulog memiliki niatan demikian. Distribusi Raskin juga menuai keresahan pasca molornya distribusi beras ke lokasi. Sehingga perlu meningkatkan sistem distribusi dari hulu ke hilir secara terpadu dengan kontroling yang super ketat. Dikhawatirkan Bulog sudah optimal namun pihak-pihak lain justru mengambil kesempatan karena lemahnya sistem yang telah dibangun.
Rangkaian alur cerita di atas belum tutup begitu saja, karena justru keterlibatan pemerintah sebagai pemangku kebijakan sangatlah berperan. Kekuatan Bulog dalam memegang perannya sangat tergantung dengan pemerintah. Bulog yang kini sebagai Perum justru hanya mengekor dengan apa yang diintruksikan oleh pemerintah. Jika Bulog salah praktis pemerintah sembunyi tangan. Belum lagi fungsinya yang kurang optimal, Bulog kurang memberikan kebijakan yang solutif di masyarakat. Seharusnya posisi Bulog saat ini sangatlah strategis dengan beberapa aspek yang mendukung. Sebelumnya fungi Bulog adalah menjaga stabilitas harga beras dan komoditi lainnya. Namun kini Bulog telah menjadi Perum dan fokus pada ketahanan pangan komoditi beras. Kini, pemerintah harus mengupayakan untuk tetap mengembalikan posisi Bulog agar lebih berperan sebagai penyangga beras nasional, dan dapat menjaga stabilitas harga beras yang bisa dijangkau masyarakat. Bulog juga harus menjalankan fungsinya dengan baik. Posisi ini yang seharusnya dapat dimanfaatkan Bulog secara optimal. Jangan lambat, perlu kreativitas bagi Bulog dalam menjalankan misinya. Jika memang perubahan posisi ini dirasa kurang menguntungkan, pemerintah harus siap optimalkan posisi Bulog sebelumnya. 

Oleh: Rico Juni Artanto
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan IPB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar